Selasa, 04 Mei 2010

Penelitian Bidang Sistem Informasi Managemen di Indonesia (SIMDI)

MENCARI CIRI KHAS BIDANG SIM
Konsekuensi dari sebuah bidang ilmu yang relatif baru
ialah para penelitinya memiliki latar belakang nonSIM.
Mereka cenderung memanfaatkan kaidah dan metoda
sesuai bidang latar belakang yang mereka anut, serta
mempertahankan warna bawaannya tersebut. Ini dapat
ditolerir pada awal pembentukan sebuah bidang ilmu.
Namun sebuah bidang yang mapan seharusnya
mengandung "komponen inti" yang menjadi ciri khas
bidang tersebut, dan SIM tidak dapat menjadi
perkecualian.
Polemik perihal apa yang termasuk dalam kategori
SIM dan mana yang bukan, seumur dengan bidang SIM
itu sendiri. Pada konferensi ICIS yang pertama (1980),
Peter Keen secara terbuka mempertanyakan apakah SIM
betulbetul
sebuah bidang ilmu atau hanya sekedar tema
populer [3]. Isu serupa biasanya menimbulkan debat yang
''hangat'' setiap kali timbul dalam milis ISWordNet.
Dalam sebuah diskusi panel ICIS, pernah diperdebatkan
pengaruh para ''Barbarian'' dari bidang lain yang secara
tidak hentinya bersiaga di ''tapal batas'' bidang MIS [4].
Bahkan, volume 6 dari jurnal Communcation of the AIS
(CAIS) merupakan edisi khusus perihal relevansi bidang
ilmu MIS.
Baskerville dan Myers [10] menguatkan argumentasi
bahwa SIM sudah saatnya menjadi sebuah disiplin ilmu
secara mandiri. Davis [5] menawarkan konsensus, bahwa
setidaknya terdapat lima aspek yang dapat dikategorikan
sebagai ciri khusus bidang SIM:
· Proses Managemen, seperti "perencanaan strategis",
"pengelolaan fungsi sistem informasi", dan
seterusnya.
· Proses Pengembangan, seperti "managemen proyek
pengembangan sistem", dan seterusnya.
· Konsep Pengembangan, seperti "konsep sosioteknikal",
"konsep kualitas", dan seterusnya.
· Representasi, seperti "sistem basis data",
"pengkodean program", dan seterusnya.
· Sistem Aplikasi, seperti "Knowledge Management",
"Executive System", dst.
Orlikowski dan Iacono [6] menyerukan agar jangan
mengabaikan ''artifak IT'' sebagai isu sentral. Mereka
mengamati bahwa terdapat kecenderungan penelitian SIM
untuk mengasumsikan bahwa artifak IT itu sendiri tidak
bermasalah. Artifak (karya/produk) IT tersebut pada
umumnya berbentuk perangkat lunak atau perangkat
keras. Benbasat dan Zmud [7] menjabarkan isu tersebut
dengan menawarkan sebuah model konseptual seputar
artifak IT tersebut. Whinston dan Geng [11]
mengingatkan potensi wilayah kelabu/tidak bertuan dalam
bidang SIM.

EKSISTENSI SIMDI
Pada dua bagian sebelumnya telah dibahas latar
belakang perkembangan SIM serta perdebatan perihal
komponen khas bidang SIM. Bagian ini mencoba untuk
mengkaji keadaan SIM di Indonesia (SIMDI) beserta
asumsi yang dipergunakan.
Kehadiran SIMDI itu sendiri tidak perlu diragukan.
Pada konferensi SNIKTI 2004 ditemukan lebih dari 10
judul makalah dengan tema ''berbau'' SIM. Setiap tahun
beredar berbagai ''Call for Papers'' yang mengundang
penulisan makalah dalam bidang SIM. Pada umumnya,
SIM hanya merupakan salah satu dari topik
konferensi/seminar. Institusi penyelenggara konferensi
biasanya tidak berafiliasi langsung dengan bidang SIM,
namun berupa bidangbidang
ilmu lain yang telah
diungkapkan sebelumnya .
Walau pun ada (exists), komunitas SIMDI terkesan
malumalu
dan tersembunyi. Sekurangnya terdapat dua
kemungkinan yang dapat menjelaskan kenyataan ini.
Pertama, para pelaku bidang SIM Indonesia terlalu
tersebar serta berhimpun diberbagai bidang ilmu induknya
masingmasing,
sehingga mereka tidak saling kenalmengenal.
Kedua, jumlah mereka memang kecil serta
posisi yang lemah. Kemungkinan ke dua ini didukung
dengan kenyataan bahwa peranan Indonesia dalam bidang
SIM secara regional/internasional yang sangat minim.
Jarang sekali pertemuan regional seperti PACIS (Pacific
Asia Conference on Information Systems) atau pertemuan
internasional seperti ICIS dihadiri komunitas SIM dari
Indonesia.
Lebih langka lagi ialah, karya tulis komunitas SIM
dari Indonesia yang dipresentasikan pada sebuah
konferensi, apalagi karya tulis yang tembus ke publikasi
internasional. Dampak dari ini ialah bahwa aktifitas
SIMDI tidak terlihat oleh komunitas internasional.
Dengan sendirinya, sedikit sekali ada orang Indonesia
yang mendapatkan tawaran untuk menjadi ''reviewer''
makalah untuk konferensi atau jurnal internasional.
Kehilangan tawaran menjadi ''reviewer'' berarti kehilangan
kesempatan untuk ''mengintip'' riset yang sedang
dikerjakan oleh komunitas SIM lainnya [8].
Kendala tersebut di atas, belum termasuk yang secara
umum dialami para peneliti dari Indonesia. Pertama,
kemampuan berbahasa menjadi rintangan dalam
berkomunikasi, menulis, dan membaca makalah bahasa
asing secara umum, bahasa Inggris secara khusus. Kedua,
keterbatasan jurnal (asing) yang dilanggan masingmasing
institusi. Ketiga, fasilitas institusi yang kurang memadai,
seperti akses internet bagi peneliti. Terakhir, iuran
keanggotaan profesional yang relatif mahal merupakan
faktor kendala untuk menjadi anggota profesi [8].

Kuliahbersama.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar